Semalam saya terkesan sekali dengan kata-kata pak Mario mengenai takdir. Tema Golden Ways pada waktu itu adalah “aku tidak takut lagi”. Ada seorang audiens bertanya mengenai katakutannya terhadap masa depan anak-anaknya menghadapi lingkungan yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Sebuah jawaban diplomatis diungkapkan pak Mario. Bukankah Tuhan sudah menetapkan takdirnya mengenai jodoh, rezeki, dan maut? Mengenai jodoh, bagaimana jika Tuhan berkata. Jika kamu berada di sini, maka jodohmu adalah si A, kemudian pak Mario menggeser tempat berdirinya dan mengatakan, Jika kamu berada di sini, maka jodohmu adalah si B, kemudian pak Mario menggeser lagi tempat berdirinya. Jika kamu berada disini, maka jodohmu adalah C. Jadi Tuhan sudah menentukan jodoh kan? Tapi tidak cuma satu. Tergantung kamu berada pada posisi yang mana. Jika lelaki baru lulus kuliah menyatakan cinta pada wanita kaya, cerdas, dan memiliki status social yang tinggi yang kemudian menolaknya itu wajar tidak? Wajar, karena kelasnya berbeda. Maka naikkan kelasmu hingga sejajar dengan kelas wanita itu. Kalau perlu lebih tinggi. Tanpa menyatakanpun, wanita itu akan mengejarmu.
Mengenai rezeki, dan maut pun, pak Mario Teguh menganalogikan dengan cara yang sama. Kalau kita ada di kelas ini, maka pantasnya diberi rizki segini, begitupun kalau berada di kelas yang lain. Kematian juga, kalau mau bisa kok dimajukan. Bunuh diri saja loncat dari lantai 20.
Hmmm,… terus terang itu membuat saya berfikir. Apa betul jika ada seseorang yang mengucapkan “ada sesuatu yang tidak bisa kita ubah”. Kalimat itu betul pada sebuah konteks, tapi tidak betul pada konteks yang lain. Apa yang kita dapat, itu juga tergantung dari perilaku, cara pandang, usaha, dan potensi kita. Yang pasti, jangan sampai kita disebut “sudah kalah sebelum berperang”.
Jika tadi letak jodoh juga berdasarkan kelas, sebuah pernikahan juga bisa jadi berdasarkan kelas juga. Sepasang suami istri itu adalah satu team. Antara keduanya masing-masing harus saling bersinergi. Jika salah satu tumbuh, yang satunya harus ikut tumbuh juga. Jika salah satunya tak mau dan tak bisa ikut tumbuh, maka tidak akan balans. Dan ketika pasangan itu tidak lagi balans, jika dianalogikan sebuah meja, maka meja itu akhirnya akan miring. Jika sebuah meja miring, apalagi jika pinggirnya tak ada list nya, maka jika menaruh apapun akan jatuh. Akhirnya dikembalikan pada masing-masing pasangan, mau tetap bertahan dengan kemiringan meja, atau melepaskan diri mencari kaki meja yang sesuai dengan kelasnya dengan harapan suatu saat meja itu akan mampu menampung dan tidak menjatuhkan benda-benda yang berdiri diatasnya.
Masalahnya sering kita tidak tahu berada di kelas mana kita. Tingkatan kelas, tak melulu bisa dilihat dari harta, tahta, atau status sosial dan pendidikan. Budaya, perilaku, kebiasaan, atau apapun itu bisa jadi sangat mempengaruhi tingkatan kelas kita. Dan itu terkadang baru terasa atau diketahui setelah menghadapi kehidupan yang sebenarnya yaitu didalam biduk rumah tangga.
Tak hanya itu, tak jarang didalam sebuah rumah tangga antara suami istri terlihat “seperti” ada ketimpangan. Si suami adalah orang yang tampan, popular, pintar, dan mapan. Si istri pendiam, punya tingkat ketergantungan tinggi, dan penurut. Kesannya timpang dan orang akan selalu mengatakan “betapa beruntungnya sang istri punya suami seperti itu”. Pernikahan mereka berjalan cukup lama dan rukun. Dilain pihak ada juga yang terlihat seperti “serasi”. Suami istri sama-sama cantik dan tampan, sama-sama popular, sama-sama pekerja keras dan sukses di karier, tapi rumah tangga hanya berjalan seumur jagung. Lalu apa yang salah?
Meski pada akhirnya bisa dianalisa sebab akibatnya, namun baru bisa dianalisa setelah semuanya berjalan. Akhirnya jika semuanya sudah terjadi, manusia hanya bisa mengambil pelajaran dari kisah hidupnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tak ada pilihan lain bagi manusia selain untuk tetap maju apapun yang terjadi dimasa lalu.
Jadi di kelas manakah kita sekarang? Hanya kita dan Allah yang tahu. Jangan anggap kelas hanya berdasarkan harta, karena hartapun suatu saat bisa habis. Jangan anggap kelas hanya berdasarkan pada status social, karena status sosialpun bisa rusak karena riwayat yang buruk. Jangan anggap kelas hanya berdasarkan pada budaya, karena budaya bisa runtuh dengan ilmu dan cinta. Jalani saja hidup dengan pertumbuhan yang maksimal dan tetap mempertahankan idealisme positif, maka “kelasmu” akan datang dengan sendirinya. Wallahualam.







